Kamis, 23 Juli 2009

BOOOMMSSSS.. ..

"Kamu sudah siap, Rin??" Rafi bertanya pada Ririn sambil mengunci ranselnya yang telah siap ia kemas.

Airmata Ririn perlahan mengalir dipipinya. Rafi menghela nafas berat, lalu menghampiri Ririn dan menghapus airmatanya dengan lembut.

"Jangan takut.... aku mengerti perasaanmu. Kita hanyalah orang-orang lemah yang tertindas. Jika kita melakukan tugas kita, kita telah menyelamatkan sebagian nyawa orang-orang yang tak berdosa di desa kita" ujar Rafi menguatkan hati Ririn.

"Tapi haruskah kita mengorbankan sebagian lagi nyawa orang-orang yang tak bersalah???" Ririn bicara diantara isak tangisnya.

Tangan Rafi pun turun menggenggam tangan Ririn dengan erat. Ia tahu bagaimana perasaan Ririn saat ini, karena ia pun merasakan hal serupa.

"Kamu tahu kan ... Kita tidak bisa memilih. Sekalipun kita menolak, mereka tetap akan melakukan tugas kita setelah membumi hanguskan desa kita. Semoga Ruhan mengampuni kita, Rin" ucap Rafi dengan lirih.

Ririn terdiam. Semua yang Rafi katakan memang benar. Ririn sama sekali tak punya hak untuk memilih semenjak dirinya diculik oleh para pasukan teroris untuk dilatih dihutan terpencil, yang ia sendiri tak tahu dimana letaknya, agar menjadi bagian dari mereka. Bahkan hak untuk hidup pun Ririn tak punya.

Setiap kali Ririn berusaha melarikan diri, para penjahat itu berhasil menangkapnya lagi. Entah sensor apa yang ditanam dalam tubuh Ririn, hingga keberadaannya bisa terlacak oleh mereka. Dan jika tertangkap, tubuh Ririn akan penuh dengan lebam, karena menerima pukulan dan tendangan sepatu lars mereka. Mereka tak pandang laki-laki ataupun perempuan, hukuman yang diterima tetap sama. Di tempat pelatihan Ririn tak boleh menangis. Setetes airmata yang keluar dari matanya, maka pangkal senapan akan mendarat diwajahnya.

Rafi lah yang selalu menjadi dewa penyelamatnya, jika Ririn terkena hukuman karena berbuat salah. Awalnya Ririn begitu benci dengan Rafi, yang telah lebih dulu berada disana. Ia termasuk salah satu pelatihnya. Pelatih khusus membuat bom rakitan. Ia tidak mengerti mengapa Rafi tetap membelanya, padahal Ririn menunjukkan sekali kebenciannya pada Rafi. Mungkin karena ia dan Rafi berasal dari desa yang sama.

Namun hatinya luluh saat Rafi rela memberikan tubuhnya menjadi tameng saat salah satu dari para teroris itu ingin menembaknya.

"Kalian Boodoh jika membunuhnya. Dia salah satu andalan kita, otaknya sangat kita butuhkan untuk kemajuan organisasi ini" teriak Rafi saat itu. Ririn memang terbilang memiliki otak sangat cerdas. Di tempat pelatihan tersebut ia pun menjadi murid terbaik, sehingga ia pun dipaksa harus mengajarkan ilmu merakit bomnya kepada generasi selanjutnya.

Hubungan Rafi dan Ririn makin dekat, setelah Ririn melihat sikap yang berbeda dari Rafi dibanding dengan senior-seniornya yang lain. Ia merasa aman jika berada didekat Rafi. Bahkan Ririn hanya menjatuhkan airmatanya saat bersama Rafi. Ia pun merasakan sesuatu yang indah di hatinya untuk Rafi. Rafi mampu membuat bibirnya tersenyum diantara tekanan-tekanan di camp pelatihan tersebut.

Hari ini, disaat usia Ririn genap 20 tahun, mereka mendapat tugas paksaan yang mereka tidak bisa menolaknya. Para teroris biadab itu mengancam akan membumi hanguskan desa tempat tinggal Ririn dan Rafi, jika mereka menolaknya. Desa dimana masih ada orangtua Ririn dan adik kesayangan Rafi yang tinggal satu-satunya.

Riiinnggg... .

Lamunan Ririn terhapus saat ia mendengar dering HP Rafi.

"Ya, Bang... Kami masih dikamar. Sudah, bang... Kami sudah siap... Baik, Bang" ujar Rafi dengan orang diseberang sana yang Ririn tahu pasti dari Bang Herman, kepala pimpinan aksi hari ini.

"Pakai ranselmu!! Bang Herman akan mengaktifkan bom kita 10 menit lagi. Ayo kita segera turun!!" ujar Rafi sambil mengenakan ranselnya.

"Rafi.."

"Ya.." Rafi menjawab tanpa menoleh sedikitpun, karena sibuk berkemas.

" Ada yang ingin aku katakan padamu..."

"Sebenarnya aku..."

"Nanti saja kau katakan..." potong Rafi

"Apakah kita masih punya waktu???"

Rafi tak menjawab. Ia tak sedikitpun menatap wajah Ririn dan langsung menarik Ririn bergegas keluar dari kamar hotel bintang 5, tempat mereka menginap dan bekerja. Rafi bukan tidak mau mendengar, ia hanya takut.. Takut menyesal mendengar kata-kata Ririn di detik-detik terakhir hidupnya. Hanya dengan menggenggam tangan Ririn lah Rafi sanggup menguatkan hatinya. Bahkan saat memasuki lift pun Rafi tak melepas tangan ririn.

Di dalam lift mereka terdiam dan hanya ada mereka berdua. Ririn hanya mampu melirik Rafi melalui kaca di dalam Lift, namun tak sedikit pun mata rafi memandang kearahnya.

Ketika mereka keluar dari lift dan pintu lift tertutup mereka mendengar bunyi "klik" dari ransel mereka. Langkah mereka terhenti. Tubuh mereka terdiam kaku. Genggaman tangan mereka makin kuat.

"Waktu kita tinggal 30 menit lagi" ucap Ririn dengan rasa takut yang amat dalam.

"Katakanlah. .." ujar Rafi tanpa menoleh sedikit pun.

"Heh???" Dahi Ririn berkerut dan kepalanya bergerak melihat kearah Eafi.

"Katakan sekarang yang ingin kau katakan...!! Aku ingin untuk mendengarnya"

Ririn terdiam. Kepalanya kini tertunduk. Tiba-tiba Ririn melepas genggamannya dan berdiri di depan Rafi, lalu memeluk Rafi dengan erat.

Rafi tersentak. Suasana sepi di koridor lift saat itu membuat tubuh Rafi bergetar halus merasakan perasaan yang aneh menjalar didalam darahnya.

"Aku mencintaimu. .. Aku ingin mengatakan di hari terakhir kita kalau aku mencintaimu" ujar Ririn nyaris berbisik. Airmatanya mengalir deras. Bibirnya begetar saat mengatakan kalimat yang sejak dulu ingin ia katakan.

Rafi terdiam. Dadanya bergemuruh. Perlahan tangannya membalas dekapan tubuh Ririn dengan erat. Matanya terpejam menahan sakit dihatinya. Seketika Rafi teringat sesuatu. dilepasnya perlahan pelukan Ririn dan disentuh wajah Ririn dengan lembut sambil menghapus airmata Ririn dengan jemarinya.

"Waktu kita tak banyak, aku harus melewati lorong bawah tanah terlebih dahulu.. Selamat tinggal, semoga kita bisa berjumpa lagi..." ujar Rafi, lalu berjalan meninggalkan Ririn tanpa sedikit pun memandang wajahnya.

"RAFI..." teriak Ririn memanggil, namun Rafi tak menoleh. Hanya tangannya yang dilambaikan. Ia berjalan dengan cepat.... dan berlari. Berlari untuk menahan beban dihatinya. Dadanya terasa makin sakit. Tak terasa airmatanya mengalir di pipinya.

Ririn menghela nafas berat melihat sikap Rafi. Ia pun berjalan menuju restaurant tempat sasaran tugasnya. Ia melihat jam ditangannya.

"60 detik lagi"

Setibanya di restauran ia mendengar bunyi hp-nya berdering. Dahinya lagi-lagi berkerut melihat nama si penelepon.

"Rafi???"

Ia kembali melirik jam tangannya.

"10 detik lagi... ada apa ya??"

lalu diangkatnya telepon tersebut.

"Halo..."

"Rin, Aku juga mencintaimu. ." kalimat Rafi berhenti berbarengan dengan bunyi klik yang kedua dari ransel mereka.

BOOMMMSSS... ...

Cerita ini merupakan cerita fiksi, bukan kisa nyata. Tterinspirasi dari peristiwa JW Mariot dan Ritch Charlton. Hanya saja kebanyakan orang menulis cerpen dari sisi korban kali ini aku mencoba ambil cerita dari sisi pelaku...
Selamat membaca...
source www.cerita-fiksiku. blogspot. com

0 komentar: